Melawan Hoax dengan Literasi Media

Penulis: Yons Achmad *

Bagaimana para pemikir filsafat melawan hoax? Terjawab sudah di seminar “Era Post Truth: Hoax, Disinformasi dan Emosi Sosial” Program Pascasarjana Filsafat FIB Universitas Indonesia (9/2/18).

Hadir sebagai pembicara Dr. Haryatmoko (Atmajaya) dan Tommy F Awuy (UI). 

Dua setengah jam saya menyimak dengan tekun pemaparan kedua pemikir itu ditambah dialog dengan peserta. Hasilnya, tak mengecewakan.

Tawaran melawan hoax ala Tommy F Awuy adalah dengan Filosofiksi. Apa itu? 

Sebelum mengenalkan konsep Filosofiksi, dia berpandangan bahwa hoax tak harus menjadi sebuah momok bagi peradaban dan kita menjadi histeria mencari cara bagaimana model yang efektif menangkalnya. Kebenaran baginya tak terlepas satu dengan lainnya.

[next]

Mengutip apa yang dikatakan George Serban, dalam “Lying: Man’s Second Nature (2001) bahwa “Kebenaran itu brutal, selesai, tak mengijinkan lagi perdebatan, tak menyisakan ruang harapan, sementara kebohongan memberikan ekspetasi-ekspetasi baru. Dalam masyarakat bebas, kebenaran dan kebohongan berjalan dan berperan seimbang”.

Mencermati pandangan demikian, dikatakan bahwa dampak hoax yang katanya sangat berbahaya bagi peradaban itu tak harus dikhawatirkan jika kekuatan imajinasilah yang dikedepankan. 

Oleh imajinasi, hoax bisa dijinakkan dengan membuatnya sebagai cerita fiksi atau menerimanya sebagai permainan pikiran yang menambah gairah intelektual. Jujur, sebagai peserta seminar, saya girang betul dengan pandangan demikian. Keren.

Nah, karena menurutnya kebenaran dan hoax merupakan sebuah narasi fiksional, maka tawaran paling cocoknya adalah “Filosofiksi”, paduan teknologi dengan sastra (filsafat teknologi dengan filsafat sastra). 

Sampai di sini, mungkin ada yang tertarik, tapi, barangkali ada yang berpikiran ini pemikir filsafat terlalu mengada-ada. Baiklah.

[next]

Kita lanjut ke pemaparan pemateri lainnya. Romo Moko berpandangan bahwa hoax adalah anak kandung dari Era Post Trut. Apa itu? Era Post Truth, dikutipnya, menurut J.A Liorente, merupakan “Iklim sosial politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda”. 

Kalau boleh saya peringkas, intinya Era Post Truth adalah iklim politik di mana emosi itu lebih dominan.

Apa akibatnya? Dalam pandangan pemikir filsafat yang humoris ini, pada Era Post Truth ini, jurang antara kebenaran dan kebohongan menyempit. 

Memilih mana yang mau dikatakan seakan hanyalah masalah mana yang lebih nyaman, bukan lagi terbebani oleh suatu tanggungjawab moral. Semua itu dilakukan demi citra diri di mata orang lain (Kelompoknya, orang terdekatnya, pengagumnya).

[next]

Lalu, bagaimana menyikapi fenomena demikian? “Saya kira literasi media menjadi penting untuk menangkal hoax”. 

Itulah catatan Dr. Moko menutup seminarnya. Tentu tanpa menjelaskan lebih rinci apa itu literasi media. Oleh-oleh dari seminar ini semakin menggairahkan saya untuk lebih menekuni dan mempraktikkan apa yang disebut literasi media. []

Depok, 10 Februari 2018
* Kolumnis. Pengamat media. Founder Kanet Indonesia

Melawan Hoax dengan Literasi Media

Melawan Hoax dengan Literasi Media

Penulis: Yons Achmad *

Bagaimana para pemikir filsafat melawan hoax? Terjawab sudah di seminar “Era Post Truth: Hoax, Disinformasi dan Emosi Sosial” Program Pascasarjana Filsafat FIB Universitas Indonesia (9/2/18).

Hadir sebagai pembicara Dr. Haryatmoko (Atmajaya) dan Tommy F Awuy (UI). 

Dua setengah jam saya menyimak dengan tekun pemaparan kedua pemikir itu ditambah dialog dengan peserta. Hasilnya, tak mengecewakan.

Tawaran melawan hoax ala Tommy F Awuy adalah dengan Filosofiksi. Apa itu? 

Sebelum mengenalkan konsep Filosofiksi, dia berpandangan bahwa hoax tak harus menjadi sebuah momok bagi peradaban dan kita menjadi histeria mencari cara bagaimana model yang efektif menangkalnya. Kebenaran baginya tak terlepas satu dengan lainnya.

[next]

Mengutip apa yang dikatakan George Serban, dalam “Lying: Man’s Second Nature (2001) bahwa “Kebenaran itu brutal, selesai, tak mengijinkan lagi perdebatan, tak menyisakan ruang harapan, sementara kebohongan memberikan ekspetasi-ekspetasi baru. Dalam masyarakat bebas, kebenaran dan kebohongan berjalan dan berperan seimbang”.

Mencermati pandangan demikian, dikatakan bahwa dampak hoax yang katanya sangat berbahaya bagi peradaban itu tak harus dikhawatirkan jika kekuatan imajinasilah yang dikedepankan. 

Oleh imajinasi, hoax bisa dijinakkan dengan membuatnya sebagai cerita fiksi atau menerimanya sebagai permainan pikiran yang menambah gairah intelektual. Jujur, sebagai peserta seminar, saya girang betul dengan pandangan demikian. Keren.

Nah, karena menurutnya kebenaran dan hoax merupakan sebuah narasi fiksional, maka tawaran paling cocoknya adalah “Filosofiksi”, paduan teknologi dengan sastra (filsafat teknologi dengan filsafat sastra). 

Sampai di sini, mungkin ada yang tertarik, tapi, barangkali ada yang berpikiran ini pemikir filsafat terlalu mengada-ada. Baiklah.

[next]

Kita lanjut ke pemaparan pemateri lainnya. Romo Moko berpandangan bahwa hoax adalah anak kandung dari Era Post Trut. Apa itu? Era Post Truth, dikutipnya, menurut J.A Liorente, merupakan “Iklim sosial politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda”. 

Kalau boleh saya peringkas, intinya Era Post Truth adalah iklim politik di mana emosi itu lebih dominan.

Apa akibatnya? Dalam pandangan pemikir filsafat yang humoris ini, pada Era Post Truth ini, jurang antara kebenaran dan kebohongan menyempit. 

Memilih mana yang mau dikatakan seakan hanyalah masalah mana yang lebih nyaman, bukan lagi terbebani oleh suatu tanggungjawab moral. Semua itu dilakukan demi citra diri di mata orang lain (Kelompoknya, orang terdekatnya, pengagumnya).

[next]

Lalu, bagaimana menyikapi fenomena demikian? “Saya kira literasi media menjadi penting untuk menangkal hoax”. 

Itulah catatan Dr. Moko menutup seminarnya. Tentu tanpa menjelaskan lebih rinci apa itu literasi media. Oleh-oleh dari seminar ini semakin menggairahkan saya untuk lebih menekuni dan mempraktikkan apa yang disebut literasi media. []

Depok, 10 Februari 2018
* Kolumnis. Pengamat media. Founder Kanet Indonesia

Related Posts